Tuesday, December 19, 2006

UU Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 4 TAHUN 1982 (4/1982)
Tanggal: 11 MARET 1982 (JAKARTA)
Sumber: LN 1982/12; TLN NO. 3215
Tentang: KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP
Indeks: PEMBANGUNAN. PENDIDIKAN. PENERANGAN. Kebudayaan. Kesejahteraan. Warganegara.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa lingkungan hidup Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa Indonesia, merupakan ruang bagi kehidupan Bangsa Indonesia dalam segala aspek dan matranya sesuai dengan Wawasan Nusantara;
b. bahwa dalam mendayagunakan sumber daya alam untuk memajukan kesejahteraan umum seperti termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu diusahakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan dilaksanakan dengan kebijaksanaan terpadu dan menyeluruh serta memperhitungkan kebutuhan generasi sekarang dan mendatang;
c. bahwa kebijaksanaan melindungi dan mengembangkan lingkungan hidup dalam hubungan kehidupan antar bangsa adalah sesuai dan selaras dengan perkembangan kesadaran lingkungan hidup umat manusia;
d. bahwa dalam rangka mengatur pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijaksanaan nasional yang terpadu dan menyeluruh, perlu ditetapkan undang-undang yang meletakkan ketentuan-ketentuan pokok untuk menjadi landasan bagi pengelolaan lingkungan hidup;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara;

Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya;
2. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan, dan pengembangan lingkungan hidup;
3. Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi;
4. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
5. Sumber daya adalah unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, dan sumber daya buatan;
6. Baku mutu lingkungan adalah batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang ditenggang adanya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup;
7. Pencemaran lingkungan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya;
8. Perusakan lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik dan atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan;
9. Dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan;
10. Analisis mengenai dampak lingkungan adalah hasil studi mengenai dampak suatu kegiatan yang direncanakan terhadap lingkungan hidup, yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan;
11. Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam yang menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan bagi sumber daya terbaharui menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya;
12. Lembaga swadaya masyarakat adalah organisasi yang tumbuh secara swadaya, atas kehendak dan keinginan sendiri, di tengah masyarakat, dan berminat serta bergerak dalam bidang lingkungan hidup;
13. Pembangunan berwawasan lingkungan adalah upaya sadar dan berencana menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana dalam pembangunan yang berkesinambungan untuk meningkatkan mutu hidup;
14. Menteri adalah Menteri yang ditugaskan mengelola lingkungan hidup.
Pasal 2
Lingkungan hidup Indonesia berdasarkan Wawasan Nusantara mempunyai ruang lingkup yang meliputi ruang, tempat Negara Republik Indonesia melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat, serta yurisdiksinya.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 3
Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan pelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bagi peningkatan kesejahteraan manusia.
Pasal 4
Pengelolaan lingkungan hidup bertujuan :
a. tercapainya keselarasan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup sebagai tujuan membangun manusia Indonesia seutuhnya;
b. terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana;
c. terwujudnya manusia Indonesia sebagai pembina lingkungan hidup;
d. terlaksananya pembangunan berwawasan lingkungan untuk kepentingan generasi sekarang dan mendatang;
f. terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan di luar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan.

BAB III
HAK, KEWAJIBAN, DAN WEWENANG
Pasal 5
(1) Setiap orang mempunyai hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Setiap orang berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi kerusakan dan pencemarannya.

TGPT NAME="ps6">Pasal 6
(1) Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban untuk berperanserta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup.
(2) Peranserta sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
(1) Setiap orang yang menjalankan suatu bidang usaha wajib memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
(2) Kewajiban sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini dicantumkan dalam setiap izin yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang.
(3) Ketentuan tentang kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 8
(1) Pemerintah menggariskan kebijaksanaan dan melakukan tindakan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
(2) Kebijaksanaan dan tindakan pemerintah sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 9
Pemerintah berkewajiban menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat akan tanggung jawabnya dalam pengelolaan lingkungan hidup melalui penyuluhan, bimbingan, pendidikan, dan penelitian tentang lingkungan hidup.
Pasal 10
(1) Sumber daya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat.
(2) Sumber daya buatan yang menyangkut hajat hidup orang banyak diatur penggunaannya oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
(3) Hak menguasai dan mengatur oleh negara sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini memberikan wewenang untuk :
a. mengatur peruntukan, pengembangan, penggunaan, penggunaan kembali, daur ulang, penyediaan, pengelolaan, dan pengawasan sumber daya sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2)pasal ini.
b. mengatur perbuatan hukum dan hubungan hukum antara orang dan atau subyek hukum lainnya terhadap sumber daya sebagaimana tersebut dalam ayat (1) dan ayat (2) pasal ini;
c. mengatur pajak dan retribusi lingkungan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai ayat (3) pasal ini ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IV
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN HIDUP
Pasal 11
Ketentuan tentang perlindungan sumber daya alam nonhayati ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 12
Ketentuan tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 13
Ketentuan tentang perlindungan sumber daya buatan ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 14
Ketentuan tentang perlindungan cagar budaya ditetapkan dengan undang-undang.
Pasal 15
Perlindungan lingkungan hidup dilakukan berdasarkan baku mutu lingkungan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 16
Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 17
Ketentuan tentang pencegahan dan penanggulangan perusakan dan pencemaran lingkungan hidup beserta pengawasannya yang dilakukan secara menyeluruh dan atau sektoral ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
BAB V
KELEMBAGAAN

Pasal 18
(1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dipimpin seorang menteri dan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengelolaan lingkungan hidup, dalam kaitan dengan keterpaduan pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, secara sektoral, dilakukan oleh departemen/lembaga non departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing.
(3) Pengelolaan lingkungan hidup, dalam kaitan dengan keterpaduan pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, di daerah dilakukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 19
Lembaga swadaya masyarakat berperan sebagai penunjang bagi pengelolaan lingkungan hidup.
BAB VI
GANTI KERUGIAN DAN BIAYA PEMULIHAN
Pasal 20
(1) Barangsiapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
(2) Tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara penelitian oleh tim tentang bentuk, jenis, dan besarnya kerugian serta tata cara penuntutan ganti kerugian diatur dengan peraturan perundang-undangan.
(3) Barangsiapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan hidup memikul tanggung jawab membayar biaya biaya pemulihan lingkungan hidup kepada Negara.
(4) Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan lingkungan hidup diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21
Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tertentu tanggung jawab timbul secara mutlak pada perusak dan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturannya diatur dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 22
(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama lamanya 10 (sepuluh) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana kurungan selama lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(3) Perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan dan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini adalah pelanggaran.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 23
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini semua peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan lingkungan hidup tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1982
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Maret 1982
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

SUDHARMONO, S.H.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 1982
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP
A. UMUM
1. Lingkungan hidup Indonesia yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang Maha Esa kepada Bangsa dan Rakyat Indonesia, merupakan rakhmat dari padanya dan wajib dikembangkan dan dilestarikan kemampuannya agar dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia serta makhluk lainnya, demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara merupakan kesatuan yang bulat dan utuh yang memberikan keyakinan kepada Rakyat dan Bangsa Indonesia, bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai jika didasarkan atas keselarasan dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan manusia, dalamhubungan manusia dengan alam, dalam hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagiaan batiniah, Antara manusia, masyarakat dan lingkungan hidup terdapat hubungan timbal-balik, yang selalu harus dibina dan dikembangkan agar tetap dalam keseimbangan yang serasi dan dinamis.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional mewajibkan agar sumber daya alam dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kemakmuran tersebut haruslah dapat dinikmati baik oleh generasi sekarang maupun generasi mendatang. Garis-garis Besar Haluan Negara menetapkan bahwa pembangunan tidak hanya mengejar kemakmuran lahiriah atau kepuasan batiniah saja akan tetapi juga keseimbangan antara keduanya. Oleh karena itu penggunaan sumber daya alam harus seimbang dengan keselarasan dan keserasian lingkungan hidup.
2. Lingkungan hidup dalam pengertian ekologi tidaklah mengenal batas wilayah baik wilayah negara maupun wilayah administratif. Akan tetapi, kalau lingkungan hidup dikaitkan dengan pengelolaannya, maka haruslah jelas batas wilayah wewenang pengelolaan tersebut.
Lingkungan hidup Indonesia menurut konsep kewilayahan merupakan suatu pengertian hukum. Dalam pengertian ini, lingkungan hidup Indonesia tidaklah lain dari pada kawasan Nusantara, yang menempati posisi silang antara dua benua dan dua samudera dengan iklim tropis dan cuaca serta musim yang memberikan kondisi alamiah dan kedudukan dengan peranan strategis yang tinggi nilainya, tempat Bangsa dan Rakyat Indonesia menyelenggarakan kehidupan bernegara dalam segala aspeknya. Dengan demikian, maka wawasan dalam menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup Indonesia adalah Wawasan Nusantara.
3. Lingkungan hidup Indonesia sebagai suatu ekosistem terdiri dari berbagai daerah, masing-masing sebagai suatu subsistem yang meliputi aspek sosial budaya, ekonomi, dan fisik, dengan corak ragam yang berbeda antara subsistem yang satu dengan yang lain, dan dengan daya dukung lingkungan yang berlainan. Pembinaan dan pengembangan yang didasarkan kepada keadaan daya dukung lingkungan akan meningkatkan keselarasan dan keseimbangan subsistem, yang berarti juga meningkatkan ketahanan subsistem.
Dalam pada itu, pembinaan dan pengembangan subsistem yang satu akan mempengaruhi subsistem yang lain, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pula ketahanan ekosistem dalam keseluruhan. Oleh karenanya, maka pengelolaan lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya.Ini berarti perlu adanya suatu kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup.
4. Pembangunan merupakan upaya sadar untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya guna meningkatkan mutu kehidupan rakyat. Dalam pada itu, sumber daya alam tidak tak terbatas baik dalam jumlah maupun kualitasnya, sedangkan kebutuhan akan sumber daya tersebut makin meningkat sebagai akibat meningkatnya jumlah penduduk serta meningkatnya kebutuhan.
Sejalan dengan itu, daya dukung lingkungan dapat terganggu dan kualitas lingkungan hidup dapat menurun.
Pelaksanaan pembangunan sebagai kegiatan yang makin meningkat mengandung risiko pencemaran dan perusakan lingkungan, sehingga struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan dapat pula rusak karenanya. Hal semacam itu akan merupakan beban sosial, karena pada akhirnya masyarakat dan pemerintahlah yang harus menanggung beban pemulihannya.
Terpeliharanya ekosistem yang baik dan sehat merupakan tanggungjawab yang menuntut peran serta setiap anggota masyarakat untuk meningkatkan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu, pembangunan yang bijaksana harus dilandasi wawasan lingkungan sebagai sarana untuk mencapai kesinambungan dan menjadi jaminan bagi kesejahteraan generasi sekarang dan mendatang.
5. Sesuai dengan hakekat Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum, maka pengembangan sistem pengelolaan lingkunganhidup Indonesia haruslah diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh, guna menjamin kepastian hukum bagi usaha pengelolaan tersebut. Dasar hukum tersebut dilandasi oleh prinsip hukum lingkungan dan pentaatan setiap orang akan prinsip tersebut yang keseluruhannya berlandaskan Wawasan Nusantara.
Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan hidup ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Sederhana tetapi dapat mencakup kemungkinan perkembangan di masa depan, sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat;
b. mengandung ketentuan-ketentuan pokok sebagai dasar bagi peraturan peranannya lebih lanjut,
c. mencakup semua segi di bidang lingkungan hidup, agar dapat menjadi dasar bagi pengaturanlebih lanjut masing-masing segi, yang akan dituangkan dalam bentuk peraturan tersendiri.
Selain daripada itu, undang-undang ini akan menjadi landasan untuk menilai dan menyesuaikan semua peraturan perundang-undangan yang memuat ketentuan tentang segi-segi lingkungan hidup yang kini telah berlaku yaitu peraturan perundang-undangan mengenai pengairan, pertambangan dan energi, kehutanan, perlindungan dan pengawetan alam, industri, pemukiman, tata ruang, tata guna tanah, dan lainnya.
Dengan demikian semua peraturan perundang-undangan tersebut diatas dapat terangkum dalam satu sistem hukum lingkungan Indonesia.
B. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Istilah-istilah yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan agar terdapat keseragaman pengertian atas undang-undang ini serta peraturan-peraturan pelaksanaannya :
1. Lingkungan hidup di sini merupakan sistem yang meliputi Lingkungan alam hayati, lingkungan alam nonhayati, lingkungan buatan, dan lingkungan sosial yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Istilah "lingkungan hidup" dan lingkungan"dipakai dalam pengertian yang sama.
2. Cukup jelas.
3. Cukup jelas.
4. Cukup jelas.
5. Sumber daya buatan antara lain meliputi waduk, bendungan, dan jenis unggul.
6. Cukup jelas.
7. Pencemaran lingkungan hidup oleh proses alam dimasukkan dalam perumusan mengingat bahwa akibatnya perlu ditanggulangi. Penanggulangan ini merupakan kewajiban pemerintah. Dalam komponen lingkungan tercakup informasi.
Tatanan lingkungan adalah susunan komponen lingkungan secara alamiah atau hasil upaya manusia.
8. Cukup jelas.
9. Dampak dapat bersifat positif berupa manfaat, dapat pula bersifat negatif berupa risiko, kepada lingkungan fisik dan nonfisik, termasuk sosial budaya.
10. Cukup jelas.
11. Cukup jelas.
12. Dalam pengertian organisasi termasuk pula kelompok masyarakat.
13. Penggunaan dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana berarti senantiasa memperhitungkan dampak kegiatan tersebut terhadap lingkungan serta kemampuan sumber daya untuk menopang pembangunan secara berkesinambungan.
14. Cukup jelas.
Pasal 2.
Cukup jelas.
Pasal 3.
Pengertian pelestarian mengandung makna tercapainya kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang, dan peningkatan kemampuan tersebut.
Hanya dalam lingkungan yang serasi dan seimbang dapat dicapai kehidupan yang optimal.
Pasal 4.
Pengendalian secara bijaksana pemanfaatan sumber daya perlu memperhatikan aspek-aspek antara lain kehematan, dayaguna, hasilguna, dan daur ulang.
Pasal 5
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan orang adalah orang seorang, kelompok orang, atau badan hukum.
Ayat (2)
Kewajiban setiap orang, sebagaimana tersebut dalam ayat ini tidak terlepas dari kedudukannya sebagai anggota masyarakat, yang mencerminkanharkat manusia sebagai individu dan makhluk sosial.
Pasal 6.
Ayat (1)
Hak dan kewajiban setiap orang sebagai anggota masyarakat untuk berperan serta dalam kegiatan pengelolaan lingkungan hidup mencakup baik tahap perencanaan maupun tahap-tahap pelaksanaan dan penilaian. Dengan adanya peran serta tersebut anggota masyarakat mempunyai motivasi kuat untuk bersama-sama mengatasi masalah lingkunganhidup dan mengusahakan berhasilnya kegiatan pengelolaan lingkungan hidup.
Ayat (2)
Peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam ayat ini mengatur tata laksana peran serta sebagaimana tersebut dalam ayat (1).
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dengan adanya kewajiban tersebut yang dijadikan salah satu syarat dalam pemberian izin, maka penyelenggara bidang usaha senantiasa terikat guna melakukan tindakan pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 8.
Ketentuan pasal ini memberi wewenang kepada pemerintah untuk mengambillangkah-langkah tertentu, misalnya dalam bidang perpajakan, sebagai insentif guna lebih meningkatkan pemeliharaan lingkungan, dan disinsentif untuk mencegah dan menanggulangi kerusakan dan pencemaran lingkungan.
Kebijaksanaan dan tindakan sebagaimana tersebut dalam pasal dapat pula diarahkan. kepada pemberian penghargaan kepada setiap orang yang amat berjasa dalam pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
Pasal 9.
Pendidikan untuk menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran masyarakat dilaksanakan baik melalui jalur pendidikan formal mulai dari taman kanak-kanak/sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi, maupun melalui jalur pendidikan nonformal.
Penelitian tentang lingkungan hidup meliputi antara lain pengembangan konsep tentang lingkungan hidup, studi keadaan lingkungan yang ada, kecenderungan perubahan lingkungan baik secara alami maupun karena pengaruh kegiatan manusia, serta hubungan timbal-balik antara kebutuhan manusia yang semakin meningkat dengan lingkungan hayati dan lingkungan nonhayati.
Pasal 10.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Wewenang penuturan sebagaimana tersebut dalam ayat(3) pasal ini antara lain meliputi tatanan ruang yang merupakan sistem pengaturan ruang sebagai upaya sadar untuk mengatur hubungan antar berbagai kegiatan dan fungsi guna mencapai keserasian dan keseimbangan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal ini meliputi tiap jenis sumber daya alam nonhayati, seperti ketentuan tentang air, tanah, udara, bahan galian, bentang alam, dan formasi geologis atau perwujudan proses alam yang sangat indah yang penting untuk ilmu pengetahuan.
Pasal 12.
Pengertian konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya mengandung tiga aspek, yaitu :
a. perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pengawetan dan pemeliharaan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya pada matra darat, air, dan udara;,
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Dalam pengertian konservasi tersebut di atas termasuk pula perlindungan jenis hewan yang tata cara hidupnya tidak diatur oleh manusia, tumbuh-tumbuhan yang telah menjadi langka atau terancam punah, dan hutan lindung.
Pasal 13
Perlindungan sumber daya buatan yang penting ditujukan kepada konservasi fungsi sumber daya tersebut bagi kesinambungan pembangunan.
Pasal 14.
Perlindungan cagar budaya ditujukan kepada konservasi peninggalan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur.
Pasal 15
Agar dapat ditentukan telah terjadinya kerusakan lingkungan hidup perlu ditetapkan baku mutu lingkungan, baik penetapan kriteria kualitas lingkungan hidup maupun kualitas buangan atau limbah. Kriteria dan pembakuan ini dapat berbeda untuk setiap lingkungan, wilayah, atau waktu, mengingat akan perbedaan tata gunanya. Perubahan keadaaan lingkungan setempat serta perkembangan teknologi akan mempengaruhi kriteria dan pembakuan yang telah ditetapkan.
Pasal 16
Pada dasarnya semua usaha dan kegiatan pembangunan menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup. Perencanaan awal suatu usaha atau kegiatan pembangunan sudah harus memuat perkiraan dampaknya yang penting terhadap lingkungan hidup, baik fisik maupun nonfisik, termasuk sosial budaya, guna dijadikan pertimbangan apakah untuk rencana tersebut perlu dibuat analisis mengenai dampak lingkungan.
Berdasarkan analisis ini dapat diketahui secara lebih terperinci dampak negatif dan posistif yang akan timbul dari usaha atau kegiatan tersebut, sehingga sejak dini telah dapat dipersiapkan langkah untuk menanggulangi dampak negatif dan mengembangkan dampak positifnya. Dampak yang penting ditentukan antara lain oleh
a. besar jumlah manusia yang akan terkena;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. lamanya dampak berlangsung;
d. intensitas dampak;
e. banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena;
f. sifat kumulatif dampak tersebut;
g. berbalik (reversible) atau tidak berbalinya (irreversible) dampak.
Pemerintah dapat membantu golongan ekonomi lemah, yang bidang usahanya diperkirakan menimbulkandampak penting ini, untuk melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan.
Pasal 17.
Ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal ini memuat upaya penegakan hukumnya.
Dalam rangka penanggulangan pemerintah dapat membantu golongan ekonomi lemah yang usahanya diperkirakan telah merusak atau mencemari lingkungan.
Penanggulangan kerusakan dan pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan di luar wilayah negara dilaksanakan dengan menggunakan sarana persetujuan antar negara.
Pasal 18
Ayat (1)
Pengelola lingkungan hidup menuntut dikembangkannya suatu sistem dengan keterpaduan sebagai ciri utamanya.
Oleh karena itu, untuk menyelenggarakan pengelolaan lingkungan hidup perlu ditetapkan kebijaksanaan nasional terpadu pengelolaan lingkungan hidup, yang meliputi perumusan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan, sebagai bagian dari kebijaksanaan pembangunan nasional.
Pengawasan atas pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyelenggaraan kebijaksanaan terpadu tersebut memerlukan kordinasi agar pelaksanaan pengelolaanlingkungan hidup secara sektoral dan didaerah terkait secara mantap dengan kebijaksanaan nasional pengelolaan lingkungan hidup, serta memantapkan kesatuan gerak dan langkah yang menjamin tercapainya tujuan pengelolaan lingkungan hidup secara berdayaguna dan berhasilguna. Untuk memberikan wadah kordinasi pada tingkat nasional dibentuk perangkat kelembagaan yang dipimpin seorang menteri.
Ayat (2)
Pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup sektoral di daerah dilakukan di bawah kordinasi Kepala Wilayah dalam kaitan dengan keterpaduan pelaksanaan kebijaksanaan nasional pengelolalingkungan hidup,
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 19
Lembaga swadaya masyarakat mencakup antara lain
a. kelompok profesi, yang berdasarkan profesinya tergerak menangani masalah lingkungan;
b. kelompok hobi, yang mencintai kehidupan alam dan terdorong untuk melestarikannya;
c. kelompok minat, yang berminat untuk berbuat sesuatu bagi pengembangan lingkungan hidup.
Dalam menjalankan peranannya sebagai penunjang, lembaga swadaya masyarakat mendayagunakan dirinya sebagai sarana untuk mengikut sertakan sebanyak mungkin anggota masyarakat dalam mencapai tujuan pengelolaan lingkungan hidup.
Pasal 20
Ayat (1)
Kewajiban merupakan konsekuensi setiap orang untuk melestarikan kemampuan lingkungan guna menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
Ayat (2)
Bentuk dan jenis kerugian akibat perusakan dan pencemaran akan menentukan besarnya kerugian.
Penelitian tentang bentuk, jenis, dan besarnya kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk pemerintah. Penelitian meliputi bidang ekologi, medis, sosial budaya, dan lain-lain yang diperlukan.
Tim yang terdiri dari pihak penderita atau kuasanya, pihak pencemar atau kuasanya, dan unsur pemerintah dibentuk untuk tiap-tiap kasus.
Jika diperlukan dapat diangkat tenaga ahli untuk menjadi anggota tim.
Bilamana tidak dapat tercapai kata sepakat dalam batas waktu tertentu, maka penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan negeri.
Ayat (3)
Disamping kewajiban membayar ganti kerugian sebagaimana tersebut dalam penjelasan ayat (2), perusak dan atau pencemar lingkungan hidup berkewajiban juga membayar biaya pemulihan lingkungan hidup kepada Negara untuk keperluan pemulihan. Tim yang dimaksud dalam penjelasan ayat (2) dapat pula diserahi tugas untuk menetapkan besarnya biaya pemulihan lingkungan hidup.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 21.
Tanggung jawab mutlak dikenakan secara selektif atas kasus yang akan ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang dapat menentukan jenis dan kategori kegiatan yang akan terkena oleh ketentuan termaksud.
Pasal 22
Mengingat akibat perusakan dan atau pencemaran lingkungan dapat berbeda-beda, maka pasal ini hanya menentukan ancaman pidana maksimal.Peraturan perundang-undangan yang mengatur segi-segi lingkungan hidup tetap dapat menetapkan ancaman pidana yang jumlahnya tidak melebihi ancaman pidana yang ditetapkan dalam pasal ini.Jumlah denda sebagaimana tersebut dalam pasal ini adalah nilai nominal pada saat mulai berlakunya undang-undang ini.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24.
Cukup jelas.
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1982 YANG TELAH DICETAK ULANG

UU 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 22 TAHUN 1997 (22/1997)
Tanggal: 1 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)
Sumber: LN 1997/67; TLN nO.3698
Tentang: NARKOTIKA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka kualitas sumber daya manusia Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu ditingkatkan secara terus menerus termasuk derajat kesehatannya;
b. bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan, antara lain pada satu sisi dengan mengusahakan ketersediaan narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan sebagai obat dan di sisi lain melakukan tindakan pencegahan dan pemberantasan terhadap bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
c. bahwa narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan, dan di sisi lain dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan apabila dipergunakan tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan seksama;
d. bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam, menyimpan, mengedarkan, dan menggunakan narkotika tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat, serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah kejahatan karena sangat merugikan dan merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional Indonesia;
e. bahwa kejahatan narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi canggih, sedangkan peraturan perundang-undangan yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi yang berkembang untuk menanggulangi kejahatan tersebut;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut pada huruf a, b, c, d, dan e serta pertimbangan bahwa Undang-undang Nomor REFR DOCNM="76uu009">9 Tahun 1976 tentang Narkotika sudah tidak sesuai lagi, maka perlu dibentuk Undang-undang baru tentang Narkotika;
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor REFR DOCNM="76uu008.doc">8 Tahun 1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961, beserta Protokol yang mengubahnya (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3085);
3. Undang-undang Nomor REFR DOCNM="92uu023">23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
4. Undang-undang Nomor REFR DOCNM="97uu007.doc">7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances) (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3673);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG NARKOTIKA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
2. Produksi adalah kegiatan atau proses menyiapkan, mengolah, membuat, menghasilkan, mengemas, dan/atau mengubah bentuk narkotika termasuk mengekstraksi, mengkonversi, atau merakit narkotika untuk memproduksi obat.
3. Impor adalah kegiatan memasukkan narkotika ke dalam Daerah Pabean.
4. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan narkotika dari Daerah Pabean.
5. Peredaran gelap narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak dan melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika.
6. Surat Persetujuan Impor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengimpor narkotika.
7. Surat Persetujuan Ekspor adalah surat persetujuan Menteri Kesehatan untuk mengekspor narkotika.
8. Pengangkutan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan memindahkan narkotika dari satu tempat ke tempat lain, dengan cara, moda, atau sarana angkutan apapun.
9. Pedagang besar farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan penyaluran sediaan farmasi termasuk narkotika dan alat kesehatan.
10. Pabrik obat adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan produksi serta penyaluran obat dan bahan obat, termasuk narkotika.
11. Transito narkotika adalah pengangkutan narkotika dari suatu negara ke negara lain dengan melalui dan singgah di Wilayah Negara Republik Indonesia yang terdapat Kantor Pabean dengan atau tanpa berganti sarana angkutan.
12. Pecandu adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun psikis.
13. Ketergantungan narkotika adalah gejala dorongan untuk menggunakan narkotika secara terus menerus, toleransi dan gejala putus narkotika apabila penggunaan dihentikan.
14. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.
15. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.
16. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.
17. Permufakatan jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih dengan maksud bersepakat untuk melakukan tindak pidana narkotika.
18. Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya.
19. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan.
BAB II
RUANG LINGKUP DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Ruang lingkup pengaturan narkotika dalam Undang-undang ini adalah segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digolongkan menjadi :
a. Narkotika Golongan I;
b. Narkotika Golongan II; dan
c. Narkotika Golongan III.
(3) Penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untuk pertama kalinya ditetapkan sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan penggolongan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 3
Pengaturan narkotika bertujuan untuk :
a. menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan
c. memberantas peredaran gelap narkotika.
Pasal 4
Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 5
Narkotika Golongan I hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilarang digunakan untuk kepentingan lainnya.
BAB III
PENGADAAN
Bagian Pertama
Rencana Kebutuhan Tahunan
Pasal 6
(1) Menteri Kesehatan mengupayakan tersedianya narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
(2) Untuk keperluan tersedianya narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyusun rencana kebutuhan narkotika setiap tahun.
(3) Rencana kebutuhan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) menjadi pedoman pengadaan, pengendalian, dan pengawasan narkotika secara nasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kebutuhan tahunan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 7
(1) Narkotika untuk kebutuhan dalam negeri diperoleh dari impor, produksi dalam negeri dan/atau sumber lain dengan berpedoman pada rencana kebutuhan tahunan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2).
(2) Narkotika yang diperoleh dari sumber lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berada di bawah pengendalian, pengawasan, dan tanggung jawab Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Produksi
Pasal 8
(1) Menteri Kesehatan memberi izin khusus untuk memproduksi narkotika kepada pabrik obat tertentu yang telah memiliki izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Menteri Kesehatan melakukan pengendalian tersendiri dalam pelaksanaan pengawasan terhadap proses produksi, bahan baku narkotika, dan hasil akhir dari proses produksi narkotika.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian izin dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 9
(1) Narkotika Golongan I dilarang diproduksi dan/atau digunakan dalam proses produksi, kecuali dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan dilakukan dengan pengawasan yang ketat dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan produksi dan/atau penggunaan dalam proses produksi dalam jumlah yang sangat terbatas untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Narkotika untuk Ilmu Pengetahuan
Pasal 10
(1) Lembaga ilmu pengetahuan yang berupa lembaga pendidikan, pelatihan, keterampilan, dan penelitian dan pengembangan yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun swasta, yang secara khusus atau yang salah satu fungsinya melakukan kegiatan percobaan, penelitian dan pengembangan, dapat memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan narkotika dalam rangka kepentingan ilmu pengetahuan setelah mendapat izin dari Menteri Kesehatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat dan tata cara untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Keempat
Penyimpanan dan Pelaporan
Pasal 11
(1) Narkotika yang berada dalam penguasaan importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib disimpan secara khusus.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan, wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyimpanan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan jangka waktu, bentuk, isi, dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan mengenai penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan/atau ketentuan mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikenakan sanksi administratif oleh Menteri Kesehatan berupa :
a. teguran;
b. peringatan;
c. denda administratif;
d. penghentian sementara kegiatan; atau
e. pencabutan izin.
BAB IV
IMPOR DAN EKSPOR
Bagian Pertama
Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor
Pasal 12
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai importir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan impor narkotika.
Pasal 13
(1) Importir narkotika harus memiliki surat persetujuan impor untuk setiap kali melakukan impor narkotika dari Menteri Kesehatan.
(2) Surat persetujuan impor narkotika Golongan I dalam jumlah yang sangat terbatas hanya dapat diberikan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Surat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada pemerintah negara pengekspor.
Pasal 14
Pelaksanaan impor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengekspor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 15
(1) Menteri Kesehatan memberi izin kepada 1 (satu) perusahaan pedagang besar farmasi milik negara yang telah memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika.
(2) Dalam keadaan tertentu, Menteri Kesehatan dapat memberi izin kepada perusahaan lain dari perusahaan milik negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang memiliki izin sebagai eksportir sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melaksanakan ekspor narkotika .
Pasal 16
(1) Eksportir narkotika harus memiliki surat persetujuan ekspor untuk setiap kali melakukan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan.
(2) Untuk memperoleh surat persetujuan ekspor narkotika harus dilampiri dengan surat persetujuan dari negara pengimpor.
Pasal 17
Pelaksanaan ekspor narkotika dilakukan atas dasar persetujuan pemerintah negara pengimpor dan persetujuan tersebut dinyatakan dalam dokumen yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 18
Impor dan ekspor narkotika hanya dilakukan melalui kawasan pabean tertentu yang dibuka untuk perdagangan luar negeri.
Pasal 19
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh surat persetujuan impor dan surat persetujuan ekspor narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Kedua
Pengangkutan
Pasal 20
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengangkutan barang, tetap berlaku bagi pengangkutan narkotika kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini atau diatur kemudian berdasarkan ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 21
(1) Setiap pengangkutan impor narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan surat persetujuan impor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan.
(2) Setiap pengangkutan ekspor narkotika wajib dilengkapi dengan surat persetujuan ekspor narkotika yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 22
Penanggung jawab pengangkut impor narkotika yang memasuki Wilayah Negara Republik Indonesia wajib membawa dan bertang-gung jawab atas kelengkapan surat persetujuan impor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor.
Pasal 23
(1) Eksportir narkotika wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor.
(2) Orang yang bertanggung jawab atas perusahaan pengangkutan ekspor wajib memberikan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor kepada penanggung jawab pengangkut.
(3) Penanggung jawab pengangkut ekspor narkotika wajib membawa dan bertanggung jawab atas kelengkapan surat persetujuan ekspor narkotika dari Menteri Kesehatan dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengimpor.
Pasal 24
(1) Narkotika yang diangkut harus disimpan pada kesempatan pertama dalam kemasan khusus atau di tempat yang aman di dalam kapal dengan disegel oleh nakhoda dengan disaksikan oleh pengirim.
(2) Nakhoda membuat berita acara tentang muatan narkotika yang diangkut.
(3) Nakhoda, dalam waktu paling lama 24 (dua puluh empat) jam setelah tiba di pelabuhan tujuan, wajib melaporkan narkotika yang dimuat dalam kapalnya kepada Kepala Kantor Pabean setempat.
(4) Pembongkaran muatan narkotika dilakukan dalam kesempatan pertama oleh nakhoda dengan disaksikan oleh Pejabat Bea dan Cukai.
(5) Nakhoda yang mengetahui adanya narkotika di dalam kapal secara tanpa hak, wajib membuat berita acara, melakukan tindakan-tindakan pengamanan, dan pada persinggahan pelabuhan pertama segera melaporkan dan menyerahkan narkotika tersebut kepada pihak yang berwenang.
Pasal 25
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 berlaku pula bagi kapten penerbang untuk pengangkutan udara.
Bagian Ketiga
Transito
Pasal 26
(1) Transito narkotika harus dilengkapi dengan dokumen persetujuan ekspor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika yang sah dari pemerintah negara pengimpor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara pengekspor dan pengimpor.
(2) Dokumen persetujuan ekspor narkotika dari pemerintah negara pengekspor dan dokumen persetujuan impor narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat keterangan tentang :
a. nama dan alamat pengekspor dan pengimpor narkotika;
b. jenis, bentuk, dan jumlah narkotika; dan
c. negara tujuan ekspor narkotika.
Pasal 27
Setiap perubahan negara tujuan ekspor narkotika pada transito narkotika hanya dapat dilakukan setelah adanya persetujuan dari :
a. pemerintah negara pengekspor narkotika;
b. pemerintah negara pengimpor atau tujuan semula ekspor narkotika; dan
c. pemerintah negara tujuan perubahan ekspor narkotika.
Pasal 28
Pengemasan kembali narkotika pada transito narkotika, hanya dapat dilakukan terhadap kemasan asli narkotika yang mengalami kerusakan dan harus dilakukan di bawah tanggung jawab pengawasan Pejabat Bea dan Cukai.
Pasal 29
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan transito narkotika ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pemeriksaan
Pasal 30
Pemerintah melakukan pemeriksaan atas kelengkapan dokumen impor, ekspor, dan/atau transito narkotika.
Pasal 31
(1) Importir narkotika memeriksa narkotika yang diimpornya dan wajib melaporkan hasilnya kepada Menteri Kesehatan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal diterimanya impor narkotika di perusahaan.
(2) Berdasarkan hasil laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri Kesehatan menyampaikan hasil penerimaan impor narkotika kepada pemerintah negara pengekspor.
BAB V
PEREDARAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 32
Peredaran narkotika meliputi setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan penyaluran atau penyerahan narkotika baik dalam rangka perdagangan, bukan perdagangan, maupun pemindahtanganan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 33
(1) Narkotika dalam bentuk obat jadi hanya dapat diedarkan setelah terdaftar pada Departemen Kesehatan.
(2) Narkotika Golongan II dan III yang berupa bahan baku baik alamiah maupun sintetis dapat diedarkan tanpa wajib daftar pada Departemen Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran narkotika dalam bentuk obat jadi dan peredaran narkotika yang berupa bahan baku diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 34
Setiap kegiatan dalam rangka peredaran narkotika wajib dilengkapi dengan dokumen yang sah.
Bagian Kedua
Penyaluran
Pasal 35
(1) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah dapat melakukan kegiatan penyaluran narkotika berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini.
(2) Importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, dan sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki izin khusus penyaluran narkotika dari Menteri Kesehatan.
Pasal 36
(1) Importir hanya dapat menyalurkan narkotika kepada pabrik obat tertentu atau pedagang besar farmasi tertentu.
(2) Pabrik obat tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :
a. eksportir ;
b. pedagang besar farmasi tertentu;
c. apotek;
d. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
e. rumah sakit; dan
f. lembaga ilmu pengetahuan tertentu.
(3) Pedagang besar farmasi tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :
a. pedagang besar farmasi tertentu lainnya;
b. apotek;
c. sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu;
d. rumah sakit;
e. lembaga ilmu pengetahuan; dan
f. eksportir.
(4) Sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah tertentu hanya dapat menyalurkan narkotika kepada :
a. rumah sakit pemerintah;
b. puskesmas; dan
c. balai pengobatan pemerintah tertentu.
Pasal 37
Narkotika Golongan I hanya dapat disalurkan oleh pabrik obat tertentu dan/atau pedagang besar farmasi tertentu kepada lembaga ilmu pengetahuan tertentu untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 38
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyaluran narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Bagian Ketiga
Penyerahan
Pasal 39
(1) Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh :
a. apotek;
b. rumah sakit;
c. puskesmas;
d. balai pengobatan; dan
e. dokter.
(2) Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada :
a. rumah sakit;
b. puskesmas;
c. apotek lainnya;
d. balai pengobatan;
e. dokter; dan
f. pasien.
(3) Rumah sakit, apotek, puskesmas, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.
(4) Penyerahan narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan dalam hal:
a. menjalankan praktik dokter dan diberikan melalui suntikan;
b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat melalui suntikan; atau
c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.
(5) Narkotika dalam bentuk suntikan dalam jumlah tertentu yang diserahkan dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) hanya dapat diperoleh dari apotek.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penyerahan narkotika diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB VI
LABEL DAN PUBLIKASI
Pasal 41
(1) Pabrik obat wajib mencantumkan label pada kemasan narkotika baik dalam bentuk obat jadi maupun bahan baku narkotika.
(2) Label pada kemasan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berbentuk tulisan, gambar, kombinasi tulisan dan gambar, atau bentuk lain yang disertakan pada kemasan atau dimasukkan dalam kemasan, ditempelkan, atau merupakan bagian dari wadah dan/atau kemasannya.
(3) Setiap keterangan yang dicantumkan dalam label narkotika harus lengkap dan tidak menyesatkan.
Pasal 42
Narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara publikasi dan pencantuman label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB VII
PENGOBATAN DAN REHABILITASI
Pasal 44
(1) Untuk kepentingan pengobatan dan/atau perawatan, pengguna narkotika dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika.
(2) Pengguna narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mempunyai bukti bahwa narkotika yang dimiliki, disimpan, dan/atau dibawa untuk digunakan, diperoleh secara sah.
Pasal 45
Pecandu narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan.
Pasal 46
(1) Orang tua atau wali dari pecandu narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkannya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
(2) Pecandu narkotika yang telah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.
(3) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 47
(1) Hakim yang memeriksa perkara pecandu narkotika dapat :
a. memutuskan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pencandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika; atau
b. menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan, apabila pecandu narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana narkotika.
(2) Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.
Pasal 48
(1) Pengobatan dan/atau perawatan pecandu narkotika dilakukan melalui fasilitas rehabilitasi.
(2) Rehabilitasi meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Pasal 49
(1) Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(2) Atas dasar persetujuan Menteri Kesehatan, lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis pecandu narkotika.
(3) Selain pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis, proses penyembuhan pecandu narkotika dapat diselenggarakan oleh masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Pasal 50
Rehabilitasi sosial bekas pecandu narkotika dilakukan pada lembaga rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Menteri Sosial.
Pasal 51
(1) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 diatur dengan Keputusan Menteri Sosial.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Bagian Pertama
Pembinaan
Pasal 52
(1) Pemerintah melakukan pembinaan terhadap segala kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi upaya:
a. memenuhi ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan;
b. mencegah dan memberantas segala bentuk penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
c. mencegah pelibatan anak di bawah umur dalam penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika;
d. mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan/atau pengembangan teknologi di bidang narkotika guna kepentingan pelayanan kesehatan; dan
e. meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi pecandu narkotika baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah maupun masyarakat.
Pasal 53
Pemerintah mengupayakan kerja sama bilateral, regional, multilateral dengan negara lain dan/atau badan internasional guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sesuai dengan kepentingan nasional.
Pasal 54
(1) Pemerintah membentuk sebuah badan koordinasi narkotika tingkat nasional yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
(2) Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas melakukan koordinasi dalam rangka ketersediaan, pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(3) Ketentuan mengenai susunan, kedudukan organisasi dan tata kerja badan narkotika nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian Kedua
Pengawasan
Pasal 55
(1) Pemerintah melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan yang berhubungan dengan narkotika.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56
(1) Menteri Kesehatan bertanggung jawab dalam pengendalian dan pengawasan terhadap importir, eksportir, pabrik obat, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter, lembaga ilmu pengetahuan, dan lembaga rehabilitasi medis.
(2) Petugas yang melaksanakan pengawasan, dilengkapi dengan surat tugas.
(3) Dalam hal diketemukan adanya bukti permulaan yang cukup atau berdasarkan petunjuk permulaan yang patut diduga telah terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang ini, Menteri Kesehatan berwenang mengenakan sanksi administratif dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (4).
(4) Untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, sanksi administratif dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat ditangguhkan untuk sementara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan dan tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
BAB IX
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 57
(1) Masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk berperan serta dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(2) Masyarakat wajib melaporkan kepada pejabat yang berwenang apabila mengetahui adanya penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
(3) Pemerintah wajib memberikan jaminan keamanan dan perlindungan kepada pelapor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 58
Pemerintah memberi penghargaan kepada anggota masyarakat atau badan yang telah berjasa dalam membantu upaya pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dan/atau pengungkapan tindak pidana narkotika.
Pasal 59
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat, jaminan keamanan dan perlindungan, syarat dan tata cara pemberian penghargaan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
PEMUSNAHAN
Pasal 60
Pemusnahan narkotika dilakukan dalam hal :
a. diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi;
b. kadaluarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. berkaitan dengan tindak pidana.
Pasal 61
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf a, b, dan c dilaksanakan oleh Pemerintah, orang, atau badan yang bertanggung jawab atas produksi dan/atau peredaran narkotika, sarana kesehatan tertentu, serta lembaga ilmu pengetahuan tertentu dengan disaksikan oleh pejabat yang ditunjuk Menteri Kesehatan.
(2) Pemusnahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan; dan
c. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
Pasal 62
(1) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 huruf d dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :
a. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan masih dalam tahap penyelidikan atau penyidikan, pemusnahan dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kejaksaan, Departemen Kesehatan, dan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang menguasai barang sitaan;
b. dalam hal pemusnahan narkotika dilaksanakan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, pemusnahan dilakukan oleh Pejabat Kejaksaan dan disaksikan oleh pejabat yang mewakili Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Departemen Kesehatan.
(2) Apabila dalam keadaan tertentu pejabat yang mewakili instansi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a tidak dapat dipenuhi, maka pemusnahan narkotika dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan disaksikan pejabat dari tempat kejadian perkara tindak pidana tersebut.
(3) Pemusnahan narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat yang menyaksikan pemusnahan.
(4) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pemusnahan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku bagi pemusnahan narkotika, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
BAB XI
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 63
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana narkotika, dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 64
Perkara narkotika termasuk perkara yang didahulukan dari perkara lain untuk diajukan ke pengadilan guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 65
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor REFR DOCNM="81uu008">8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, kepada Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi masalah narkotika dapat diberikan wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana narkotika.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana narkotika;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana narkotika;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana narkotika;
d. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti perkara tindak pidana narkotika;
e. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana narkotika;
f. meminta bantuan tenaga ahli untuk tugas penyidikan tindak pidana narkotika; dan
g. menangkap dan menahan orang yang disangka melakukan tindak pidana narkotika.
Pasal 66
(1) Penyidik berwenang untuk membuka dan memeriksa setiap barang kiriman melalui pos dan alat-alat perhubungan lainnya, yang diduga keras mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang sedang dalam penyidikan.
(2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang diberi tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana narkotika, berwenang untuk menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lain yang dilakukan oleh orang yang diduga keras membicarakan masalah yang berhubungan dengan tindak pidana narkotika.
(3) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlangsung untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 67
(1) Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras berdasarkan bukti permulaan yang cukup melakukan tindak pidana narkotika untuk paling lama 24 (dua puluh empat) jam.
(2) Dalam hal waktu untuk pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum mencukupi, maka atasan langsung penyidik dapat memberi izin untuk memperpanjang penangkapan tersebut untuk paling lama 48 (empat puluh delapan) jam.
Pasal 68
Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia berwenang melakukan teknik penyidikan penyerahan yang diawasi dan teknik pembelian terselubung.
Pasal 69
(1) Penyidik yang melakukan penyitaan narkotika, atau yang diduga narkotika, atau yang mengandung narkotika wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara penyitaan pada hari penyitaan dilakukan, yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun dilakukan penyitaan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pejabat penyidik yang melakukan penyitaan.
(2) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil, penyidik wajib memberitahukan atau menyerahkan barang sitaan tersebut kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusan berita acaranya disampaikan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat, Ketua Pengadilan Negeri setempat, dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(3) Dalam hal penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, penyidik wajib memberitahukan penyitaan yang dilakukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri setempat dalam waktu selambat-lambatnya 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan dan tembusannya disampaikan kepada Ketua Pengadilan Negeri setempat dan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan.
(4) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang menerima penyerahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), wajib melakukan penyegelan dan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat :
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun penyerahan barang sitaan oleh penyidik;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai narkotika; dan
d. identitas lengkap pejabat yang melakukan serah terima barang sitaan.
(5) Untuk keperluan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, penyidik menyisihkan sebagian barang sitaan untuk diperiksa atau diteliti di laboratorium tertentu yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan, dan dilaksanakan selambat-lambatnya dalam waktu 3 X 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak dilakukan penyitaan.
(6) Penyidik bertanggung jawab atas penyimpanan barang sitaan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pengambilan sampel serta pemeriksaan di laboratorium diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penyimpanan narkotika yang disita ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 70
(1) Kepala Kejaksaan Negeri setempat setelah menerima pemberitahuan tentang penyitaan barang narkotika dari penyidik, selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari wajib menetapkan status barang sitaan narkotika tersebut untuk kepentingan pembuktian perkara, pemanfaatan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, dan/atau dimusnahkan.
(2) Barang sitaan narkotika yang berada dalam penyimpanan dan pengamanan penyidik yang telah ditetapkan untuk dimusnahkan, wajib dimusnahkan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan pemusnahan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
(3) Pemusnahan barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf a.
(4) Barang sitaan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk, selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak menerima penetapan dari Kepala Kejaksaan Negeri setempat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Jaksa Agung.
Pasal 71
(1) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia wajib memusnahkan tanaman narkotika yang diketemukan selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sejak saat diketemukan, setelah sebagian disisihkan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan.
(2) Pemusnahan dan penyisihan sebagian tanaman narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama, jenis, sifat, dan jumlah;
b. keterangan tempat, jam, hari, tanggal, bulan, dan tahun diketemukan dan dilakukan pemusnahan;
c. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai tanaman narkotika; dan
d. tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan pejabat atau pihak-pihak lain yang menyaksikan pemusnahan.
(3) Bagian narkotika yang tidak dimusnahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disimpan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk kepentingan pembuktian atau diserahkan kepada Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 72
Proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak menunda atau menghalangi penyerahan barang sitaan menurut ketentuan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.
Pasal 73
(1) Apabila dikemudian hari terbukti berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diketahui bahwa barang sitaan yang telah dimusnahkan menurut ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 diperoleh atau dimiliki secara sah, kepada pemilik barang yang bersangkutan diberikan ganti rugi oleh Pemerintah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 74
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan setiap orang atau badan yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa.
Pasal 75
Dalam hal tertentu, hakim berwenang meminta terdakwa membuktikan bahwa seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan setiap orang atau badan, bukan berasal dari hasil tindak pidana narkotika yang dilakukan terdakwa.
Pasal 76
(1) Di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan perkara tindak pidana narkotika yang sedang dalam pemeriksaan, dilarang menyebut nama dan alamat pelapor atau hal-hal yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
p>(2) Sebelum sidang dibuka, hakim mengingatkan saksi dan orang lain mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 77
(1) Narkotika dan alat yang digunakan di dalam tindak pidana narkotika atau yang menyangkut narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Narkotika yang dinyatakan dirampas untuk negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera dimusnahkan, kecuali sebagian atau seluruhnya ditetapkan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
(3) Dalam hal alat yang dirampas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, maka pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(4) Tata cara pemusnahan dan pemanfaatan narkotika, alat, dan hasil dari tindak pidana narkotika dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini atau ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
BAB XII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 78
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman; atau
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan I bukan tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 79
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah);
b. memiliki, menyimpan untuk dimiliki atau untuk persediaan, atau menguasai narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 80
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
b. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. memproduksi, mengolah, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun, dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c didahului dengan permufakatan jahat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun, dan denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Pasal 81
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
b. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
Pasal 82
(1) Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
b. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan II, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjual, membeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar narkotika Golongan III, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan permufakatan jahat, maka terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama 18 (delapan belas) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
(3) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
b. ayat (1) huruf b dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah).
c. ayat (1) huruf c dilakukan secara terorganisasi, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).
(4) Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam :
a. ayat (1) huruf a dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 7.000.000.000,00 (tujuh milyar rupiah);
b. ayat (1) huruf b dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00 (empat milyar rupiah);
c. ayat (1) huruf c dilakukan oleh korporasi, dipidana denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah).
Pasal 83
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana diatur dalam Pasal 78, 79, 80, 81, dan Pasal 82, diancam dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal tersebut.
Pasal 84
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan I untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
b. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan II untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
c. menggunakan narkotika terhadap orang lain atau memberikan narkotika Golongan III untuk digunakan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 85
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum :
a. menggunakan narkotika Golongan I bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. menggunakan narkotika Golongan II bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun;
c. menggunakan narkotika Golongan III bagi diri sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 86
(1) Orang tua atau wali pecandu yang belum cukup umur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) yang sengaja tidak melapor, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Pecandu narkotika yang belum cukup umur dan telah dilaporkan oleh orang tua atau walinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) tidak dituntut pidana.
Pasal 87
Barang siapa menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memberikan kemudahan, memaksa, memaksa dengan ancaman, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat, atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83 dan Pasal 84, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 88
(1) Pecandu narkotika yang telah cukup umur dan dengan sengaja tidak melaporkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah).
(2) Keluarga pecandu narkotika sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang dengan sengaja tidak melaporkan pecandu narkotika tersebut dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
Pasal 89
Pengurus pabrik obat yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan Pasal 42, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara.
Pasal 90
Narkotika dan hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana narkotika serta barang-barang atau peralatan yang digunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika, dirampas untuk negara.
Pasal 91
Penjatuhan pidana terhadap segala tindak pidana narkotika dalam Undang-undang ini kecuali yang dijatuhi pidana kurungan atau pidana denda tidak lebih dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) dapat pula dipidana dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 92
Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan perkara tindak pidana nakotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 93
Nakhoda atau kapten penerbang yang tanpa hak dan melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 atau Pasal 25, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 94
(1) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah).
(2) Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia yang secara melawan hukum tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 71 dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 95
Saksi yang memberi keterangan tidak benar dalam pemeriksaan perkara tindak pidana narkotika di muka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 96
Barang siapa dalam jangka waktu 5 (lima) tahun melakukan pengulangan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85 dan Pasal 87 pidananya dapat ditambah dengan sepertiga dari pidana pokok, kecuali yang dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 97
Barang siapa melakukan tindak pidana narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84 dan Pasal 87, di luar wilayah Negara Republik Indonesia diberlakukan pula ketentuan Undang-undang ini
Pasal 98
(1) Terhadap warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika dan telah menjalani pidananya sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini, dilakukan pengusiran keluar wilayah Negara Republik Indonesia.
(2) Warga negara asing yang telah diusir sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilarang masuk kembali ke wilayah Negara Republik Indonesia.
(3) Warga negara asing yang pernah melakukan tindak pidana narkotika di luar negeri, dilarang memasuki wilayah Negara Republik Indonesia.
Pasal 99
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah), bagi :
a. pimpinan rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, apotik, dan dokter yang mengedarkan narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
b. pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
c. pimpinan pabrik obat tertentu yang memproduksi narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
d. pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan narkotika golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
Pasal 100
Apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini tidak dapat dibayar oleh pelaku tindak pidana narkotika, dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 101
(1) Prekursor dan alat-alat yang potensial dapat disalahgunakan untuk melakukan tindak pidana narkotika ditetapkan sebagai barang di bawah pengawasan Pemerintah.
(2) Prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri Kesehatan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan dan pengawasan prekursor dan alat-alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 102
Semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) pada saat Undang-undang ini diundangkan, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 103
Dengan berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor REFR DOCNM="76uu009">9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086) dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 104
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 September 1997
MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
MOERDIONO
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO